Oleh: Imron Rosidi, M.Pd
Abstrak: Peran guru ternyata cukup kompleks. Guru bukan sekadar pentransfer ilmu. Dia harus mampu menjadi teladan bagi setiap siswanya. Dia harus mampu menjadi lokomotif dalam membimbing hati siswanya untuk mendapatkan dan jasad yang diharapkan pada diri siswa. Pembimbingan hati tersebut bertujuan untuk membentuk siswa yang berakhlak mulia, yaitu siswa yang jauh dari pergaulan bebas, narkoba, minum-minuman keras, tawuran antarpelajar, dan grey chicken.
Lagi-lagi dunia pendidikan terguncang. Kasus beredarnya video aborsi yang memalukan dan memprihatinkan terberitakan di sebuah surat kabar. Belum lagi perilaku-perilaku negatif lainnya yang dilakukan siswa, mulai dari tawuran antarpelajar, pesta miras, free sex, dan yang terbaru lagi adalah grey chicken, lebih singkatnya greychi yaitu sebutan untuk pelajar dengan double fungsi. Selain berstatus pelajar, dia juga menjadi PSK panggilan, dan banyak lagi kasus lainnya. Akar dari semua kasus tersebut tak lain adalah terjadinya dekadensi moral para siswa yang amat drastis.
;Tentu masalah di atas bukanlah masalah sepele dilihat dari dampak yang dapat ditimbulkannya. Perilaku negatif para siswa akan menimbulkan masalah yang amat vital, yaitu hancurnya suatu peradaban sebuah negara. Untuk ke depan, para siswa adalah pewaris sekaligus tulang punggung negara. Untuk itu tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa seluruh lembaga pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah umum hendaknya tidak mengesampingkan dalam menggarap akhlak anak didiknya.
Fenomena yang terjadi dalam proses belajar mengajar saat ini, seorang guru beranggapan bahwa kewajibannya hanyalah menyampaikan materi sesuai dengan target kurikulum. Untuk selebihnya dianggap tidak perlu. Dalam hal ini, seorang guru tersebut berarti telah menghilangkan fungsi terpenting dari seorang guru, yaitu sebagai pendidik. Lebih dari itu, guru hendaknya mampu untuk menjadi alqudwah assholihah yakni figur yang baik bagi para murid yang patut untuk ditiru dan dibanggakan. Hal itu sesuai dengan ungkapan bahwa bahasa perilaku itu lebih baik daripada bahasa lisan (yakni mendidik dan sekaligus memberi contoh dengan bentuk perilaku adalah lebih baik dibandingkan dengan hanya menyuruh dengan lisan).
Seorang ahli psikologi, Gabriel Tarde berpendapat bahwa seluruh kehidupan itu sebenarnya berdasarkan pada faktor imitasi (meniru) saja. Beliau membuktikan pendapatnya tersebut dengan contoh konkret yang terjadi dalam proses perkembangan anak menuju pada kedewasaan. Seorang anak pada mulanya mengimitasi dirinya sendiri dalam belajar bahasa, mengulang-ulangi bunyi kata-kata, melatih fungsi-fungsi lidah dan mulut untuk berbicara untuk selanjutnya ia mengimitasi kepada orang lain. Akan tetapi, juga perlu diketahui bahwa dalam faktor imitasi itu sendiri ada segi-segi negatif. Adakalanya yang diimitasi itu sesuatu yang salah, sedangkan yang mengimitasi tidak mempedulikan dampaknya. Untuk itu, seorang guru hendaknya lebih memperhatikan dan selalu mengarahkan imitasi anak didiknya pada hal-hal yang positif.
Di sisi lain, seorang guru juga diharapkan mampu membentuk kepribadian siswanya dengan menerapkan metode pendidikan secara universal yang mencakup tiga komponen penting dalam diri manusia, yaitu jasad, akal, dan hati. Ketiganya saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Akal sebagai media berpikir manusia harus senantiasa dilatih dan di-install dengan memasukkan data-data file segala bentuk disiplin ilmu dan pengetahuan, sedangkan jasad merupakan wadah yang perlu didik melalui olahraga, makan teratur dan sebagainya. Pepatah Arab mengatakan ”Al-Aqlus Salim Fil Jismis Salim”, bahwa akal yang sehat terdapat dalam jasad yang sehat pula.
Namun, yang terpenting dari itu semua adalah mendidik hati dan jiwa yang merupakan instruktur dan hakim dalam menentukan segala bentuk dari tindak tanduk seorang siswa. Dalam hati inilah filterisasi segala informasi yang masuk ke dalam akal berlangsung. Dengan kata lain, jika hati dalam diri manusia itu baik, maka akan baik pula akal dan jasadnya. Sebaliknya, jika hati itu jelek, maka akan jelek pula akal dan jasadnya.
Untuk itu, kiranya penting bagi setiap guru untuk memahami peran yang diembannya. Guru bukan sekadar profesi pentransfer ilmu kepada siswa. Guru juga bertugas untuk membimbing hati pada siswanya agar terbentuk siswa yang berakhlak mulia. Dengan demikian, setiap guru harus mampu melakukan bimbingan rohani (keagamaan) yang dikemas dalam wadah ekstrakurikuler dengan materi pendalaman nilai spiritual yang mencakup praktek salat, kajian Al-Qur’an Hadits serta dialog interaktif tentang agama. Pendek kata, guru harus mampu berperan ganda.
Komentar :
Posting Komentar