Oleh: Imron Rosidi
Guru SMKN 2 Pasuruan
Kata Kunci: Sistem Pendidikan, masyarakat, global
Salah satu kegiatan reformasi yang perlu mendapat perhatian adalah reformasi bidang pendidikan. Dengan pertimbangan bahwa dengan pemusatan perhatian di bidang pendidikan dimungkinkan dapat membawa dampak positif di berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, seluruh lapisan masyarakat seharusnya memiliki komitmen yang sungguh-sungguh untuk menjadikan pendidikan sebagai skala prioritas utama dalam programnya agar nantinya semua aspek kehidupan memiliki sumber daya yang berkualitas tinggi. Dengan demikian diharapkan terbentuknya manusia yang bermoral, kreatif, produktif, berdaya saing tinggi di bidang ekonomi, sosial-politik, teknologi, budaya, dan komunikasi.
Pertanyaan adalah “apakah yang menjadi tantangan atau masalah pendidikan sekarang ini?” dan “apa yang diharapkan dari masyarakat dalam memajukan dunia pendidikan?” Pertanyaan pertama dijawab oleh Syafi`ie (2001) bahwa ada minimal lima masalah pendidikan yang pokok perlu didiskusikan, yaitu (1) masih rendahnya pemeratan untuk memperoleh pendidikan, (2) masih rendahnya kualitas pendidikan, (3) masih rendahnya relevansi pendidikan, (4) masih rendahnya manajemen pendidikan, (5) belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan IPTEK di kalangan akademisi.
Masalah tidak meratanya untuk memperoleh pendidikan, juga dalam pengamatan Saleh (2004) - ketua komisi VI DPR - mengatakan bahwa kenyataannya mayoritas masyarakat belum terlayani dan terjangkau dengan baik. Bahkan kalau dicermati, pendidikan di Indonesia masih berpihak kepada orang-orang yang berekonomi tinggi yang dapat menikmati fasilitas yang berkualitas tinggi (sekolah unggulan atau sekolah favorit pada setiap jenjang pendidikan). Anak-anak dari keluarga miskin sulit menjangkau pendidikan yang bermutu. Dari pandangan sosial, terciptanya diskriminasi atau jurang pemisah antara kelompok yang berekonomi tinggi dan yang berekonomi rendah.
Masalah kualitas pendidikan, berdasarkan hasil analisis sejumlah lembaga internasional, mutu pendidikan di Indonesia berada diperingkat terendah. Hal ini berarti bahwa bangsa Indonesia masih miskin, kurang gizi, dan sakit-sakitan. Suyanto dalam Ichwanuddin dan Dodo (2002) mengatakan bahwa kualitas SDM Indonesia, sesuai laporan data Union Nations Development Programme (UNDP), dibandingkan sesama negara ASEAN masuk kategori yang paling rendah. Pada tahun 2000 kinerja pendidikan nasional yang dinilai oleh UNDP berada pada urutan ke-109 dari 174 negara. Lebih lanjut dinyatakan beliau bahwa daya saing berada pada posisi ke-49 dari 49 negara pada tahun 2001, laporan IIMD (Internasional Institute for Management Development). Di sisi lain angkatan kerja yang tidak berpendidikan (53%), SD (34%), pendidikan menengah (11%), dan PT (2%). Masalah lain adalah ouput belum juga dapat menjawab berbagai masalah dengan ditandai dengan seberapa besar kontribusi pendidikan terhadap lapangan pekerjaan (masih didominasi tenaga kerja kasar).
Berdasarkan laporan Competitive Year Book 2002, tingkat daya saing manusia Indonesia menempatkan urutan ke-47 di antara 49 negara. Di samping itu, managemen pendidikan masih rendah ditandai dengan semaraknya pemalsuan ijazah, nilai katrolan, dan budaya kerja yang kurang, dan masih banyaknya anak wajib belajar yang belum terlayani dengan baik. Hal ini diperkuat temuan Bank dunia, yang dinyatakan Hidayat Syarif dalam Ichwanuddin dan Dodo (2002) bahwa kepala sekolah tidak memiliki kewenangan yang cukup dalam mengelolah keuangan sekolah yang dipimpimnya, kemampuan manajemen kepala sekolah pada umumnya masih rendah terutama di sekolah negeri, pola anggaran tidak memungkinkan guru yang berprestasi baik bisa memperoleh insentif, dan peran serta masyarakat sangat kecil dalam pengelolaan sekolah.
Hakikat Sistem Pendidikan
Pendidikan sebagai sebuah sistem di dalamnya mengandung beberapa komponen, yakni ada tujuan ingin dicapai, unsur-unsur tersebut saling terkait, memiliki ruang lingkup, masing-masing komponen memiliki fungsi, balikan, dan proses transformasi. Dengan terpenuhinya semua unsur-unsur tersebut, diharapkan negara mampu mencapai hakikat pendidikan, yaitu terwujudnya usaha sadar yang terencana untuk menciptakan suasana pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta terampil yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sistem pendidikan yang termuat dalam UU no. 20 Maret 2003 tentang Sisdiknas diartikan seperangkat komponen yang saling terkait untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang berlandaskan pada visi dan misi. Visi yang dimaksud dalam Sisdiknas adalah terwujudnya sistem pendidikan yang kuat dan berwibawa yang dapat memperdayakan semua warga negara yang berkualitas (Syafi`ie, 2001). Lebih lanjut dinyatakan bahwa misi pendidikan adalah (1) mengupayakan perluasaan dan pemerataan memperoleh pendidikan, (2) memfasilitasi potensi peserta didik sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar, (3) meningkatkan kesiapan input dan kualitas proses pendidikan untuk membentuk kepribadian yang bermoral agama, penguatan IPTEK, dan life skill, (4) memiliki profesionalitas dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, sikap, ketrampilan, pengalaman, nilai, berdasarkan standar nasional dan global, dan (5) peran serta masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan yang otonomi dalam konteks negara kesatuan republik Indonesia. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan suatu kebijakan pendidikan nasional yang terarah (political will), yaitu perlu perluasan pendidikan dan pemerataan pendidikan, peningkatan kompetensi akademik, profesional, dan kesejatraan pendidik dan tenaga kependidikan.
Life Skill merupakan salah satu fokus analisis penting yang selalu dikaji dalam isi relevansi fungsi sosial (Djam`an Satori, tanpa tahun). Tema life skill menurut beliau memiliki makna yang luas dari employbility atau vocational skill. Employbility mengacu pada seperangkat keterampilan yang mendukung seseorang untuk menunaikan pekerjaannya supaya berhasil, yang memiliki tiga gusus keterampilan, yakni (1) keterampilan dasar, (2) keterampilan berfikir tingkat tinggi, (3) karakter dan keterampilan afektif.
Dikaji dari pendekatan managemen pendidikan, implementasi Life Skill hendaknya dipahami dalam konteks School-Based Management, Community-Based Education dan Broad-Based Education. School-Based Management mengacu pada gagasan yang menempatkan kewenangan pengelolaan sekolah dan guru sebagai kelompok profesional, dengan pihak-pihak yang memiliki kapasitas untuk memahami kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi sekolah dalam upaya mengembangkan program-program seskolah yang misi dan visi sekolah tersebut. Community-Based Education merupakan satu gagasan yang menempatkan orientasi penyelenggaraan pendidikan pada lingkungan kontekstual (ciri, kondisi dan kebutuhan masyarakat). Sedangkan Broad-Based Education adalah pendidikan berbasis masyarakat luas, yaitu kebijakan penyelenggaraan pendidikan yang dipeuntukkan bagi kepentingan lapiran masyarakat besar. Sifat yang menonjol adalah pendidikan yang menekankan pada kecakapan atau keterampilan hidup atau bekerja.
Sistem Pendidikan dalam Perspektif Global
Berdasarkan konteks tersebut (bagian pendahuluan), dikaitkan dengan kenyataan saat ini, kualiatas SDM Indonesia dibanding dengan negara-negara lain kurang menunjukkan hasil yang signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu penyebabnya pengaruh globalisasi. Istilah globalisasi menunjuk kepada suatu proses yang melibatkan penyebarluasan ide, nilai dan produk. Hal tersebut bersumber dari negara tertentu dan mewakili kebudayaan tertentu ke seluruh pelosok dunia yang diterima sebagai proses yang alamiah. Dampak utamanya adalah pemberdayaan masyarakat makin terpinggirkan dari persaingan global. Pendidikan akan mendapatkan tantangan dan ancaman. Hal tersebut disebabkan dominasi bahasa asing yang menjadi media proses globalisasi itu sendiri. Secara jujur dapat dinyatakan bahwa bahasa Inggrislah tampaknya memdominasi diberbagai ranah atau bidang kehidupan yang berkaitan dengan peralatan, kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, dan politik. Memasuki era global pada abad 21 ini menurut Syafi’ie (2003) adalah bangsa Indonesia menghadapi tantangan global, yang sangat berpengaruh seluruh aspek kehidupan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dua arus yang dimaksud adalah globalisasi dan desentralisasi.
Untuk menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, dirancang minimal satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional oleh Pemerintah (pasal 50 ayat 3). Untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan, sehingga semua penyelenggaran pendidikan atau satuan pendidikan formal baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal 53 ayat 1). Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi melayani peserta didik (pasal 53 ayat 32). Badan hukum pendidikan yang akan diatur dengan undang-undang tersendiri (pasal 53 ayat 4) dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan tersebut (pasal 53 ayat 3).
Dengan adanya badan hukum pendidikan itu, maka dana dari masyarakat dan dana bantuan asing, dapat diserap dan dikelola secara professional, transparan dan akuntabilitas publiknya dapat dijamin. Dengan demikian, badan hukum pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggaraan pendidikan atau satuan pendidikan nasional, dalam menghadapi persaingan global.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan pula lembaga akreditasi dan sertifikasi. Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (pasal 60 ayat 1) yang dilakukan oleh pemerintah (pusat) dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik (pasal 60 ayat 2). Akreditasi dilakukan atas kriteria yang bersifat terbuka (pasal 60 ayat 30) sehingga semua pihak, terutama penyelenggara dapat mengetahui posisi satuan pendidikannya secara transparan.
Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan ditentukan oleh kompetensi yang dibuktikan oleh sertifikat kompetensi. Itulah sebabnya, kalau ijazah yang tidak dapat dipakai lagi untuk bekerja dalam era globalisasi, maka harus ada lagi sertifikat kompetensi (pasal 61 ayat 1). Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompotensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus, uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi (pasal 61 ayat 3).
Dalam mengantisipasi perkembangan global dan kemajuan teknologi komunikasi, maka pendidikan jarak jauh diakomodasi dalam system pendidikan nasional, sebagai paradigma baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh itu dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, dengan berfungsi untuk memberi layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka, atau reguler (pasai 31).
Sistem Pendidikan Menganut Kesetaraan dan Keseimbangan
Kebijakan yang tercermin dalam Sisdiknas telah dikembangkan keseimbang-an peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (kecerdasan spritual, intelektual, dan emosional). Hal ini tergambar dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan, membentuk watak, dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan tujuan agar mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepad Tuhan YME, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 4).
Dengan demikian undang-undang Sisdiknas telah memberikan keseimbangan antara iman, ilmu dengan amal (shaleh). Hal ini selain tercermin fungsi dan tujuan pendidikan nasional, juga tercermin dari kurikulum (pasal 36 ayat 3) untuk peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dipadukan menjadi satu.
Paradigma baru lainnya, yang dituangkan dalam undang-undang Sisdiknas ialah konsep kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan tidak dibedakan lagi pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan oleh masyarakat. Semuanya berhak memperoleh dana dari negara, dalam suatu system yang terpadu.
Demikian juga adanya kesetaraan antara satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama dengan ciri khas tertentu. Itulah sebabnya dalam semua jenjang pendidikan disebutkan mengenai nama pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama (madrasah dst.). Dengan demikian kebijakan yang tercermin dalam Sisdiknas telah menempatkan pendidikan sebagai satu kesatuan yang sistemik (pasal 4 ayat 2).
Paradigma baru pendidikan yang demokratis, juga menempatkan peserta didik sebagai subjek pendidikan. Itulah sebabnya hak dan kewajiban peserta didik dijelaskan secara rinci, sehingga kebijaksanaan yang tercermin dalam Sisdiknas telah menunjukkan keberpihakan kepada peserta didik, terutama kepada peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi. Peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agamanya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama serta mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya (pasa! 12 ayat huruf a dan huruf b).
Bagi peserta didik yang berprestasi dan yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya, berhak memperoleh beasiswa dari negara (pasal 12 ayat 1 huruf c). Bahkan bagi mereka tersebut akan dibiayai oleh negara (pasal 12 ayat 1 huruf d). Demikian juga peserta didik yang mau pindah jalur dan satuan pendidikan lain yang setara, tetap diperkenankan (pasal 12 ayat 1 huruf e), dan bahkan berhak menyelesaikan program pendidikannya sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing, asal tidak menyimpan dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan (pasal 12 ayat 1 huruf f).
Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu dan juga berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat (pasal 5 ayat 1 dan 5). Bagi warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial serta warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Demikian juga warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus (pasal 5 ayat 2, 3 dan 4). Bahkan bagi pendidikan wajib belajar bagi anak usia 7 sampai 15 tahun harus diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat tanpa dipungut biaya. Demikian pendidikan nonformal seperti kursus dan pelatihan diakomodasi dengan baik dan diberi perhatian (pasal 26). Representasi hak dan kewajiban peserta didik sebagai subjek pendidikan diarahkan pada pemberdayaan pembelajaraan dengan dilandasi oleh prinsip-prinsip, yaitu berpusat pada peserta didik, mengembangkan kreativitas peserta didik, menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai, menyediakan pengalaman yang beragam. Terkait hal tersebut, United States Agency for International Development (USAID) memprakarsai pendidikan dan pelatihan managemen berbasis sekolah dengan memperkenalkan sistem Pakem, yaitu pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (Jawa Pos, 2004). Sedangkan Freire Faulo (2002) memformulasi pendidikan dengan dinamai “pendidikan kaum tertindas”. Pendidikan untuk pembebasan bukan untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan untuk penjinakan sosial-budaya dan secara metodologis bertumpu pada prinsip aksi dan reaksi total, yaitu prinsip bertindak untuk mengubah kenyataan yang tertindas, yang akhirnya tumbuh kesadaran akan realitas. Itulah disebut sebagai praxis yang diartikan manunggal karsa, kata, dan karya, karena manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berfikir, berbicara, dan berbuat.
Revitalisasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Pelaksanaan pendidikan (di kelas) seharusnya dijiwai oleh nilai-nilai kemanusiaan dalam entitas demokratisasi. Pemberdayaan masyarakat perlu didorong dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaran dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1). Masyarakat tersebut dapat berperan sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan (pasal 54 ayat 2). Justru itu masyarakat berhak melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 55 ayat 1 dan ayat 2). Dana pendidikan yang berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber yang lain secara adil dan merarta, serta dari pemerintah.
Partisipasi masyarakat itu kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan Pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Sedang komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli terhadap pendidikan (pasal 1 butir 24 dan 25). Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana, dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis (pasal 56 ayat 2). Sedangkan peningkatan mutu pelayanan ditingkat satuan pendidikan, akan berperan komite sekolah/madrasah, yang akan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan (pasal 56 ayat 3).
Daftar Rujukan
Ady, Susilo. 2000. Revitalisasi Pendidikan Nilai di dalam Sektor Pendidikan Formal. Dalam Atmadi,A,. dan Y. Setyaningsih. 2000. Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga. Yokyakarta: Kanisius.
Arifin, Anwar. 2003. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang- Undang SISDIKNAS. Makalah disajikan pada seminar nasional dalam rangka dies natalis ke-42 UNM di Kampus UNM Gunungsari Makassar.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi: Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta.
Depdiknas. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Ketentuan Umum Pendidikan Prasekolah, Dasar, dan Menengah Umum. Jakarta.
Freire, Paulo. Tanpa tahun. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Terjemahkan oleh Agung Prihantoro dan Fuak Arif Fudiyanto. 2002. Yokyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Saleh, Taufikurrachman. 26 Januari 2004. Revolusi Pemerataan Mutu Pendidikan. Jawa Pos, hl.4.
Satori, Djam`an. Tanpa Tahun. Implementasi Life Skill dalam Konteks Pendidikan Sekolah. Makalah.
Syafi`ie, Imam. 2001. Kebijakan dan Strategi Pendidikan Nasional. Makalah, Malang.
Syafi`ie, Imam. 2003. Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Perpektif Globalisasi dan Otonomi Daraeh. Makalah Disajikan dalam Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXV Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta se-Indonesia, 6-7 Oktober 2003. Yokyakarta: FKIP Univ. Sanata Dharma Yogyakarta.
Syarif, Ichwanuddin dan Dodo Murtadlo (Eds.). 2002. Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru. Jakarta: Penerbit PT Drasindo.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Jakarta: Depdiknas.
Universitas Negeri Malang, tahun 2000 Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skipsi, tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian, Edisi Keempat. Penerbit. Malang: UNM.
Komentar :
Posting Komentar