AKULTURASI PENDIDIKAN UMUM DAN PESANTREN
Oleh: suprapto, M.Pd
Abstrak: Mengapa akulturasi pendidikan umum dan pesantren perlu dilakukan? Hal itu tidak lepas dari keprihatinan kita terhadap terjadinya dekadensi moral pada diri siswa. Pergaulan bebas, narkoba, tawuran antarpelajar menjadi menu keseharian. Untuk itu, sistem yang berlaku di pendidikan umum perlu dipadukan dengan di pesantren. Dengan demikian, pendidikan umum yang diidamkan dapat terwujud sesuai harapan kita.
Judul artikel ini menggunakan istilah akulturasi, bukan transformasi ataupun reformasi. Hal itu karena telah ditemukan dua dunia pendidikan yang sangat mencolok perbedaannya. Pendidikan umum selalu identik dengan aspek knowladge, administrasi yang rapi meskipun terkadang dipaksakan, siswa yang kurang hormat terhadap gurunya, dan lebih mengedepankan kepentingan individu, sedangkan pendidikan pesantren lebih mementingkan akhlakul kharimah, administrasi yang jujur meskipun terkesan kurang rapi, santri yang sangat hormat kepada ustadnya, dan lebih mengedepankan kepentingan bersama. Kedua model pendidikan ini perlu diakulturasikan.
Akulturasi menurut KBBI adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi (2001:24). Dengan demikian, akulturasi pendidikan adalah pencampuran dua kebudayaan dalam dunia pendidikan atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling menguntungkan. Proses ini tentunya perlu dilakukan untuk menciptakan sekolah umum yang berkualitas dengan tidak mengesampingkan aspek akhlakul kharimah dan menciptakan pendidikan pesantren yang bisa mengikuti perkembangan zaman melalui pengetahuannya.
Akulturasi pendidikan umum dengan pesantren perlu dilakukan untuk saling melengkapi kekurangan di masing-masing jenis pendidikan tersebut. Pendidikan umum saat ini disibukkan dengan terjadinya dekadensi moral siswa yang cukup memprihatinkan. Di sana-sini ditemukan siswa tawuran, minum-minuman keras, narkoba, pergaulan bebas, sampai pada melakukan aborsi untuk menghilangkan aib yang telah dibuatnya sendiri. Semua itu membuat ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja para guru di sekolah umum. Seorang guru pada umumnya lupa bahwa dia adalah seorang pengajar yang sekaligus seorang pendidik. Inilah yang membuat dunia pendidikan umum saat ini berwajah suram.
Di pesantren, moral merupakan garapan pertama sebelum menggarap aspek kehidupan yang lain. Seorang santri akan membuntuti ustadnya yang sedang membawa kitab. Dia akan menawarkan diri untuk membawakan buku sang ustad. Dia berkeyakinan, dengan menolong guru, segala ilmu dapat diserap dengan mudah. Hal ini sangat bertentangan dengan perilaku siswa di dunia pendidikan umum.
Seorang siswa di sekolah umumnya saat ini berbeda dengan yang dulu. Pendidikan tanpa kekerasan diterapkan secara mutlak, seakan-sakan siswa harus lepas dari kekerasan sekecil apapun dengan alasan apapun. Bahkan, guru menjewer siswa pun bisa-bisa diperkarakan tanpa harus melihat alasan guru tersebut bertindak seperti itu. Akibatnya, perilaku siswa mulai lepas kontrol. Dia benar-benar memposisikan diri sebagai orang yang harus dilayani, tanpa reserve.
Akulturasi perilaku santri dengan siswa perlu dilakukan. Kita pasti sepakat bahwa setiap guru dan orang tua menginginkan seorang siswa yang berotak Habibie dan berhati seorang santri. Dia pandai dan sangat menghormati gurunya. Dia memiliki pandangan bahwa dengan menghormati seorang guru, ilmu yang dia terima akan barokah sehingga akan bermanfaat ketika lepas dari bangku sekolah.
Akulturasi selanjutnya dapat dilakukan dalam pengolahan KBM di sebuah sekolah. Guru hendaknya tidak pernah lupa memulai kegiatan pembelajaran dengan berdoa bersama terlebih dahulu, bukan aba-aba beri hormat yang hanya manis di mulut, tetapi tidak membekas di hati. Dengan doa diharapkan kegiatan transfer ilmu dari guru dapat dengan mudah dapat diterima siswa. Selain itu, ilmu yang diterima siswa akan lebih bermakna dan bermanfaat.
Begitu pula dalam pengolahan keuangan di sebuah sekolah. Administrasi yang rapi hendaknya dibarengi dengan kejujuran. Apabila terganjal dengan sistem di Indonesia, pengelola keuangan di sekolah bisa menggunakan dua bentuk buku pertanggungjawaban. Buku yang pertama dibuat SPJ sesuai dengan petunjuk dari pemerintah, sedangkan yang lain berdasarkan kenyataan yang ada, tanpa ada kebocoran sedikit pun. Setiap pengeluran resmi maupun nonresmi hendaknya dicatat apa adanya.
Akhirnya, akulturasi pendidikan umum dengan pesantren bertujuan untuk memperbaiki setiap kelemahan di masing-masing jenis pendidikan tersebut. Yang baik di pesantren tentunya perlu diterapkan di pendidikan umum, begitu pula yang idealis di pendidikan umum perlu diterapkan di pesantren. Pendek kata, akulturasi digunakan untuk meningkatkan kemajuan keduanya, baik pendidikan umum (sekolah) maupun pesantren.
Peb 05 2010
Peb
05
2010
kependidikan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar :
Posting Komentar